Cerpen : Topi Petruk
Selasa, 02 Desember 2014
0
komentar
Silir malam dari celah-celah gorden mulai menyentuh lembut tubuh
Lira. Seperti lembut belaian kasih tangan malaikat. Hangat. Lira memenjamkan
matanya. Membiarkan tubuhnya merasakan ketenangan yang jarang ia jumpai.
Duar!!
Tiba-tiba ada kilat menyambar. Merenggut silir malam dan
menggantinya dengan angin tajam. Mata Lira sontak terbuka lebar. Dilihatnya
awan yang mulai menggumpal siap untuk memuntahkan air hujan. Dengan cepat pekat
menyebar ke setiap ujung ruang. Ingatan Lira terseret pada gumpalan waktu yang
kelam. Ingatan yang akan memberinya sebongkah rasa sakit yang melebihi mati.
***
“Tante Lira,”
Terdengar suara orang berteriak. Tak berapa lama kemudian, nampak anak
laki-laki berbadan tambun berlari kencang ke arah Lira berdiri. Namanya Dino.
Dia adalah keponakan Lira yang paling besar.
“Ada apa sayang?” tanya Lira lembut.
“Tante, aku ingin Lolipop” ucap Dino memelas
“Apa Mamamu mengijinkan?”
“Iya, Mama bilang aku boleh
memakannya asal hanya satu”
“Baiklah kalau begitu, ayo!”
“Yey” teriak Dino kegirangan
Lira melajukan sepeda motornya dengan kecepatan sedang. Sambil
mengemudi, sesekali Lira mengajak ngobrol Dino. Lira takut Dino mengantuk dan
terjatuh dari kendaraan yang ditumpanginya.
Sepuluh menit kemudian, Lira dan Dino sampai di Torry Mart.
“Tante, ayo ke sana” pinta Dino manja
“Kau mau beli apa, bukankah kau bilang hanya ingin lolipop?”
“Bukan untukku, aku ingin membelikan topi untuk adik”
“Untuk Dinar?”
“Ehm,” ucap Dino mantap sambil menarikku menuju tempat dimana
beberapa topi digantung rapi.
“Tan, ini bagus kan?” tanya Dino sambil mengacungkan sebuah topi petruk
berwarna abu-abu.
“Iya, ambilah” jawab Lira lembut.
Setelah selesai berbelanja, Lira dan Dino kembali ke rumah.
“Ma...” teriak Dino begitu sampai di depan rumah
“eee...tidak baik berteriak di dalam rumah. Ayo cerita sama Mama”
“Lihat ini Ma,” dengan bangga Dino mengacungkan topi petruk
yang dibelinya bersama tante Lira
“Wah, bagus sekali. Apa kau yang membelinya?”
“Bukan. Tante Lira yang beli”
“Kalau begitu, apa kau sudah berterima kasih?”
“Tentu saja”
“Pintar sekali anak Mama yang satu ini”
“Iya dong, Dino” jawab Dino bangga
***
Hari ini adalah hari minggu, jadi Lira tidak perlu pergi ke kantor.
Untuk mengisi waktu luangnya, Lira berkunjung ke rumah Dino. Kemudian, dengan
senang hati Lira mengajak Dinar yang masih berumur enam bulan berjalan-jalan di
lapangan kompleks sambil menyuapi dan menikmati udara pagi yang masih segar.
Karena belum pernah membawa Dinar keluar rumah, Lira menggendongnya
dengan sangat hati-hati, begitu pula saat ia menyuapi Dinar. Mula-mula bubur
dilumatkannya pada sendok makan khusus berukuran kecil, kemudian dengan
perlahan dimasukkannya ke dalam mulut Dinar. Setelah itu, ia menegakkan minum
agar tenggorokan Dinar tetap basah. Begitu ia lakukan berulang-ulang hingga
bubur yang ada di mangkuk habis. Sambil berjalan-jalan, sesekali Lira mengajak
Dinar untuk bercanda. Tentu saja Dinar hanya diam dan tertawa karena Dinar
memang belum bisa berbicara secara fasih.
“Tante,” teriak Dino dari kejauhan
Lira yang mendengar teriakan sontak langsung berbalik dan mencari
sumber suara. Dilihatnya dari kejauhan, Dino tengah berdiri tegak sambil
membawa bola sepak. Rupanya, Dino habis bermain sepak bola dengan
teman-temannya.
“Tante, ayo pulang” lagi-lagi Dino berteriak. Kali ini sambil
melambaikan tangan
Lira yang sudah dewasa, tidak menimpali teriakan Dino tapi berjalan
mendekat ke arah Dino berdiri.
“Ada apa?”
“Pulang yuk tan,” pinta Dino untuk sekian kali
“Tante masih ingin bermain dengan adek. Mending kamu ikut maen sama
Tante”
“Maen kemana? Dari tadi tante muter-muter lapangan terus” kata Dino
polos
“Maksud Tante, ya jalan-jalan seperti ini. Kalau kamu ikut, nanti
Tante jalan sambil cerita deh,”
“Beneran tan?”
“Iya,” ucap Lira mencoba meyakinkan Dino
“Kamu mau cerita apa?”
“Cerita si kancil” jawab Dino mantap
Lira dan Dino pun berjalan-jalan mengelilingi lapangan, tak lupa
Lira bercerita sesuai dengan permintaan Dino. Ternyata Dinar yang saat itu ada
di gendongan Lira ikut tertawa. Akhirnya Dino dan Lira ikut tertawa.
“Tan, cuacanya mulai panas. Mending adek pakai topi dulu”
“Sepertinya tadi Tante bawa topi adek, dimana ya?” tanya Lira
sambil mencari-cari topi di gendongan Dinar
“Ada tidak Tan?”
“Nggak ada sayang, dimana ya?”
“Ketinggalan mungkin,”
“Nggak, Tante yakin udah dibawa kok”
“Ya udah, mending keliling aja tan, siapa tahu jatuh.”
Akhirnya, Lira dan Dino berkeliling lapangan untuk mencari topi petruk
Dinar yang terjatuh. Dan benar saja, ternyata topi petruk Dinar
terjatuh. Karena cuaca yang semakin panas dan menyengat, Lira langsung
memakaikan topi petruk ke kepala Dinar.
“Ayo pulang,” ucap Lira sambil menggandeng tangan Dino
Mereka berdua akhirnya berjalan bergandengan hingga sampai di depan
rumah. Sesampainya di rumah, Lira membaringkan Dinar di ranjang dan
meninggalkannya sebentar. Belum ada lima menit Dinar dibaringkan, Dinar
menangis. Lira yang seketika itu mendengar langsung menghampiri Dinar dan
memberinya sebotol ASI yang ada di atas meja. Lira pikir, setelah diberi ASI,
Dinar akan berhenti menangis, ternyata tidak demikian. Tangisan Dinar semakin
menggebu-gebu hingga terdengar di seantero penjuru rumah.
Mama Dinar yang saaat itu berada di dapur langsung menghampiri.
“Ada apa?” tanya mama Dinar cemas
“Tidak tahu Mbak, tiba-tiba Dinar nangis. Sudah aku beri minum ASI
tapi tetep nangis.”
Mama Dinar dengan cepat mengambil Dinar yang terbaring di atas
ranjang dan menggendongnya. Kemudian membiarkan Dinar menyesap ASI dari
putingnya. Tapi, bukannya berhenti menangis, Dinar malah menangis dengan
sedikit melotot. Semua orang kebingungan. Ibu Dinar kemudian membaringkan Dinar
lagi ke atas ranjang. Kemudian menepuk-nepuk bokong Dinar agar mau berhenti
menangis. Ternyata semua usaha yang dilakukan sia-sia. Semua terdiam, tak tahu
harus berbuat apa. Tak berapa lama setelahnya, Dinar kejang-kejang. Awalnya
biasa saja, taoi kemudian semakin menjadi-jadi, membuat semua orang yang ada di
rumah merasa khawatir. Lira yang saat itu berdiri di dekat meja, dengan sigap
mengambil gagang telepon dan memencet beberapa tombol. Lira menghubungi
ambulans agar segera datang memberi pertolongan. Sayang, takdir sedang tidak
berpihak pada keluarga kecil ini, Dinar meninggal dunia sebelum ambulans sampai
di rumah kejadian.
Setelah ambulans datang, dokter dengan segera membawa Dinar ke
rumah sakit untuk di autopsi. Selang beberapa jam, pihak rumah sakit
menghubungi mama Dinar dan memberitahu penyebab kematian Dinar. Semua pihak
keluarga cemas karena yang tahu penyebabnya hanya ibu Dinar. Tapi kemudian,
setelah perasaan mama Dinar cukup lega ia bercerita kepada semua sanak saudara.
Ia berkata bahwa dokter yang memeriksa Dinar menemukan seekor luwing
atau kaki seribu ada di dalam topi petruk yang dikenakan Dinar saat
keluar dengan Lira, dan luwing itu menggerogoti kepala Dinar yang masih
empuk hingga masuk ke bagian tengah kepalanya. Mama Dinar bercerita sambil
sesenggukan. Semua terdiam mendengarnya.
Semua anggota keluarga berduka cita, tak terkecuali Lira yang saat
itu membawa Dinar keluar. Tapi mau dikata apalagi, nasi telah menjadi bubur.
Dinar yang masih kecil kini sudah tiada. Tak ada yang bisa mengembalikan Dinar
ke dunia kecuali ada keajaiban dari Tuhan yang maha kuasa. Lira yang saat ini
duduk bersama semua anggota keluarga benar-benar merasa seperti dihujani dengan
beton. Memang, tidak ada yang marah dengan Lira, bahkan Mama Dinar pun bilang
bahwa ia tidak marah dengan Lira, tapi pada kenyataannya Lira seperti orang
yang dikucilkan. Perasaannya sangat tertekan, dan semua orang dengan tenang
mendiamkan.
***
“kau pembunuh,”
“gara-gara topi petrukmu, Dinar mati!”
Kalimat itu terus terngiang di telinga Lira. Menyisik bersama angin
malam yang semakin tajam, dan Lira pun tenggelam dalam malam yang menggenang.
oleh : Tri Wahyuningrum
0 komentar:
Posting Komentar