Cerpen : Menghitam Pekat

Posted by Tri Wahyuningrum Kamis, 30 Oktober 2014 0 komentar

Saat itu larut malam. Beberapa mahasiswa mulai beranjak pergi meninggalkan gazebo kecuali aku dan seorang lelaki berkaos hitam yang sedang duduk bersandar pada tiang penyangga sambil menyesap sebatang rokok yang dijepitnya pada telunjuk dan jari tengah. Hening berlangsung beberapa lama. Aku menatap lekat layar monitorku sambil berkomat-kamit tanpa suara, sedang lelaki berkaos hitam itu asyik meyesap rokok sambil sesekali meyeruput nikmat kopi panasnya.
Suasana malam itu begitu sunyi. Tak ada kata yang terlontar, hanya ada suara angin yang mendesir pelan. Kurasakan pantatku mulai pedas, aku pun berganti posisi duduk. Berbalik arah, kini aku dan lelaki berkaos hitam itu saling berhadapan. Kupergoki dirinya tengah mencuri pandang ke arahku. Aku mendiamkannya. Kemudian dengan berani ia menatapku, lama. Aku membalasnya sebentar. Ketika aku menatapnya kutemukan kedalaman yang asing darinya, kemudian aku berkedip. Tiba-tiba aku merasa ada yang janggal dari pandangan matanya. Sesuatu yang tak bisa kumaknai. Asing. Cepat-cepat kubuang pandanganku ke arah lain. Kebetulan sekali, ketika aku mengalihkan pandangan dari tatapan matanya, kulihat temanku sedang berjalan jauh di depan gazebo. Aku kemudian berdiri dan menjauh dari tempat semula aku duduk, berjalan maju beberapa langkah dengan wajah tengadah, seraya mengatupkan kedua tangan agar membentuk corong disekitar mulut lalu berteriak “Dira!”. Sialnya, temanku tak berjalan ke arahku dan hanya membalas teriakanku dengan lambaian tangan kemudian berbelok ke arah Gedung Serba Guna atau GSG.
Drt drt..
Getar ponsel mengalihkanku. Dengan cepat kurogoh ponsel dari saku celanaku.
“Hallo,” ucapku mengawali pembicaraan
“Mira, kamu pulang jam berapa? Aku sudah mengantuk menunggumu” ucap seorang wanita dari ujung telepon yang tak lain adalah Sita, teman sekamarku.
“Sepertinya aku masih lama, kau tidurlah dulu. Aku akan menelponmu jika sudah di depan kos.”
“Benar tidak apa-apa?”
“iya, aku masih harus menyelesaikan tugas ini. Kau cepatlah tidur.”
“hati-hati ya, Bye.
Bye.
Tutt..
Sambungan telepon terputus. Aku kembali duduk dan fokus pada layar monitor. Mulutku kembali berkomat-kamit tanpa suara, sedang tanganku dengan terampil menekan-nekan tombol keyboard. Tiba-tiba lelaki berkaos hitam itu memandangku lagi, lebih dalam, lebih lama. Aku semakin merasa tak nyaman. Aku menjadi bertingkah serba salah. Aku kemudian memutuskan untuk mengemas barang-barangku dan kembali pulang ke kos. Belum selesai aku berkemas, langit tiba-tiba mendung. Kemudian hujan turun dengan lebatnya. Dengan perasaan kecewa aku kembali duduk. Kali ini aku menggeser posisi duduk sedikit lebih jauh dari tempat lelaki berkaos hitam itu. Tanpa sadar kupergoki lelaki berkaos hitam  itu tersenyum kecil, seperti mentertawaiku yang tak bisa pulang. Aku merutuki diriku yang bodoh karena tidak membawa payung. Dengan sedikit rasa kesal aku memukul-mukul bangku tempat aku dan lelaki berkaos hitam itu duduk. Kulihat dirinya tersenyum lagi, kali ini bersuara dan itu membuatku semakin geram dibuatnya. Aku menggigit jariku gemas, tapi itu juga tak membantu. Hujan masih terus mengguyur dan bahkan turun semakin deras, sesekali kilat ikut dibawanya. Aku ingin menangis, ingin berteriak. Tapi kemudian aku berpikir, sepertinya aku hanya akan mempermalukan diri sendiri jika hal itu benar kulakukan.
Waktu sudah menunjuk pukul 01.13 dini hari, tapi hujan masih enggan untuk berhenti. Aku mengambil ponselku dan menghubungi teman sekamarku. Aku berharap ia bisa menjemputku dan membawakan aku sebuah payung. Sayang kenyataan berkehendak lain, panggilanku diabaikan. Sepertinya temanku benar-benar tertidur lelap. Aku telah mencoba beberapa kali tapi tetap tidak ada jawaban.
“Nomor yang anda tuju sedang sibuk, silahkan hubungi beberapa saat lagi. ”
Begitu jawaban operator tiap kali aku menghubingi nomor ponsel Sita, teman sekamarku. Hanya membuatku semakin jengkel saja.
 Beberapa lama setelah itu, aku berinisiatif untuk menghubungi penghuni kos yang lain, tapi hasilnya tetap nihil. Tak ada yang menjawab panggilanku. Karena putus asa, aku kembali duduk dan beristirahat. Tak kulirik sedetikpun lelaki yang duduk di seberangku. Aku bahkan menganggapnya tak ada agar aku tak merasa cemas. Kubuka situs layanan  facebook pada ponsel, kubaca-baca tak ada yang menarik. Kemudian aku menutupnya. Aku beralih memainkan permainan “Smasher Ants” yang ada di ponselku hingga bosan, hingga mataku memerah, dan perih.
Lebih kurang 36 menit aku menunggu, hujan mulai reda dan aku beranjak pulang. Sebelumnya, aku memastikan setiap barangku tak ada yang tertinggal. Setelah yakin bahwa barang-barangku tak ada yang tertinggal, baru aku berjalan pulang.
Kulangkahkan kakiku pelan seperti biasa agar tidak terlihat seperti orang ketakutan. Sayangnya, aku melihat lelaki berkaos hitam itu ikut berkemas seperti hendak mengikutiku. Dan benar saja, lelaki itu berjalan pelan tepat di belakangku. Kecemasanku semakin bertambah. Karena merasa terganggu, aku mempercepat langkah kakiku. Tanpa aku sadari, lelaki berkaos hitam yang ada di belakangku itu juga ikut mempercepat langkahnya, aku kemudian berlari sambil berteriak minta tolong. Namun, tak ada seorang pun mendengar teriakanku. Sialnya lagi, aku malah tersandung dan kemudian terjatuh. Siku kananku terluka dan berdarah tergores aspal. Aku menggigit bibir menahan rasa sakit. Perih. Kutiup sebentar kemudian aku berdiri lagi dan berlari.
Lelaki berkaos hitam itu semakin kencang mengejarku yang mulai terengah-engah. Tiba-tiba kurasakan tubuhku bergetar hebat dan berkeringat. Aku tak sanggup lagi untuk berlari. Kupasrahkan tubuhku untuk berhenti, dan lelaki berkaos hitam itu  ikut berhenti. Jujur setelah itu aku merasa bingung. Lelaki berkaos hitam itu seperti tengah mempermainkanku. Aku ingin bertanya “kenapa”, tapi aku tak kuasa. Kupejamkan mata. Kunikmati  fase istirahatku yang hanya sebentar ini.
Tiba-tiba kurasakan sesuatu mendarat di bahuku. Aku membuka mata dan kudapati lelaki berkaos hitam itu telah berdiri di sampingku. Aku tercengang. Aku menyeret tubuhku manjauh secara perlahan, tapi lelaki berkaos hitam itu mengikutiku, pelan. Kemudian ia melempar senyum ke arahku. Aku tak membalasnya. Kemudian ia berjongkok sambil memandang ke arahku.
“Hery,” ucapnya seraya mengulurkan tangan ke arahku
aku terdiam. Tak bisa berkata-kata. Berapa lama kemudian kami berdua tertawa.

oleh : Tri Wahyuningrum

0 komentar:

Posting Komentar