Cerpen : Rumah Terlarang
Senin, 08 Desember 2014
0
komentar
“ Terimakasih,”
kataku pada supir taksi yang telah mengantarku hingga depan pintu gerbang
apartment baruku.
Kring
kring kring..
Ponselku
berdering tak lama setelah aku turun dari taksi
“ Hallo,”
kataku mengawali pembicaraan
“ Nak,
apa kau sudah sampai ? ” tanya seorang wanita dari ujung telfon yang tak lain
adalah ibuku
“ Iya
bu, alhamdullilah saya sampai dengan selamat ”
“ Syukurlah
kalau begitu, sekarang istirahatlah. Kau pasti capek kan ? ibu akan menutup
telfonnya.”
“ Baik
bu ”
Tutt...
Sambungan telfon terputus.
Aku
kemudian memasuki pelataran apartment. Melangkahkan kakiku menyusuri setiap
ruang di apartment yang akan menjadi tempat tinggalku hingga 2 tahun kedepan.
Aku menaiki tangga menuju kamar 308 lantai 2 apartment.
“
Akhirnya sampai juga ” lenguhku saat tiba di kamar kecilku.
Dari
atas sini aku bisa melihat setiap inci apartment. Setiap kamar yang serupa
dengan cat tembok yang mulai terkelupas. Pohon Beringin yang rimbun tepat di
ujung apartment dekat gerbang. Hingga sebuah rumah kecil di pojok apartment. Kata
penghuni lama apartment, rumah kecil itu
dulunya adalah rumah Pak Jarwo,si tukang bersih-bersih. Namun sekarang rumah
itu sudah tidak ada penghuninya karena Pak Jarwo telah lama menghilang entah
kemana. Anehnya, lampu rumah kecil yang katanya adalah rumah Pak Jarwo itu
tidak pernah padam, padahal sudah tidak terpakai sekitar 5 tahunan. Entah dapat
hembusan angin dari mana kakiku melangkah hingga ke rumah Pak Jarwo. Kini aku
berada tepat di depan rumah kecil Pak Jarwo. Aku sedikit kaget ketika lantai
yang terbuat dari kayu berdecit saat terinjak, membuat bulu kudukku sedikit
merinding. Kuperhatikan dengan seksama pintu kayu ini. Gagang pintunya masih
terpasang rapi, bentuk pintu juga masih utuh tanpa ada yang bolong sedikitpun,
hanya cat kayu yang mulai pudar yang membuat pintu ini terlihat usang.
Ceklek..
Aku
membuka pintu depan rumah Pak Jarwo, kemudian melangkahkan kakiku menyusuri
setiap ruangan di rumah kecil ini.
“
Aneh ” Pikirku.
Banyak
yang berkata bahwa rumah kecil ini sudah tidak dihuni sekitar 5 tahunan. Tapi,
setiap ruang di rumah ini sangat bersih dan rapi, bahkan lebih bersih dari
kamarku. Setiap barang ditata secara apik. Aku mengambil sebuah bingkai foto
yang terpasang di atas meja, foto sepasang suami istri dan satu anak perempuan
dengan satu mata yang tertutup.
“ Mungkin
ini keluarga pak jarwo, ” pikirku.
Setelah
selesai berkeliling, aku keluar dan kembali ke kamarku. Keesokan harinya aku
bercerita dengan Jia. Jia adalah sahabatku yang juga penghuni apartment,
kamarnya tepat di sebelah kamarku.
“ Jia,
apa menurutmu rumah kecil yang berada di pojok apartment ini benar-benar tak
berpenghuni ? ”
“
Maksudmu rumah Pak Jarwo ? ”
“ Iya,
bagaimana menurutmu ? ”
“ Tentu
saja rumah itu kosong, kalau tidak mana mungkin rumput liar itu dibiarkan
tumbuh subur di depan rumah. Kau ini ada-ada saja ”
“ Tapi
setiap ruangan di dalam rumah itu sangat bersih dan rapi ”
“ Apa
maksudmu ? jangan bilang kau memasuki rumah terlarang itu ” kata Jia dengan
mata sedikit melotot
“ Aku
hanya berkunjung ” jawabku enteng
“
Kau benar-benar gila. Jangan bermain-main di tempat terlarang itu ”
“ Aku
sudah bilang kan, aku hanya berkunjung ”
“ Kau
ini memang usil, aku tidak mau tau jika ada apa-apa yang menimpamu ”
“ Ah,
kau ini berlebihan. Sudahlah aku kembali dulu ke kamarku ” kataku sambil
berlalu meninggalkan Jia
“ Jangan
bermain-main lagi. Ingat ya ..!! ” teriak Jia meningatkanku
Brukk..
Aku
menghempaskan tubuhku di atas ranjang kesayanganku. Aku mencoba memejamkan mataku
untuk terlelap, tapi tak berhasil. Pikiranku dipenuhi bayang-bayang rumah kecil
Pak Jarwo. Pikiranku penuh dengan ribuan pertanyaan yang mengganggu. Rasanya
kepala ini bisa meledak jika aku tidak segera tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Aku berdiri
dan membuka sedikit gorden kamarku.
Ternyata
di luar masih diguyur hujan lebat. Aku kemudian mengurungkan niatku untuk
mengunjungi rumah kecil Pak Jarwo. Aku kembali menghempaskan tubuhku di atas
ranjang dan memaksakan kedua mataku untuk terlelap.
Krinnggg..
Jam
beker yang berbunyi dengan keras berhasil membangunkan tidur siangku.
“ Ternyata
sudah sore “ kataku setelah melihat jam bekerku menunjuk pukul 16.00 WIB
Aku
kemudian bergegas ke kamar mandi dan membasuh seluruh tubuhku agar kembali fresh. Setelah selesai mandi, aku
bergegas ke supermarket yang ada di seberang apartment.
“ Semuanya
87 ribu “ kata penjaga kasir
“ Ini
” kataku sambil menyodorkan selembar uang 100 ribu
“ Ini
kembaliannya ”
“ Terima
kasih ”
“
Terima kasih telah berkunjung, silakan berkunjung lagi ” kata penjaga
supermarket sambil menundukkan kepalanya
Kring
kring kring..
Belum
sempat aku membuka pintu kamar, telfonku lebih dulu berdering. Aku lalu
meletakkan barang bawaanku kemudian mengambil ponsel di saku celanaku dan
mengangkatnya.
“
ada apa ? ”
“ Mi..
ri .. sa.kit..” kata jia terputus-putus
“ Bicara
yang jelas, aku tak dapat mendengar suaramu ”
“ Sa..sa..”
Belum
selesai Jia berbicara, sambungan telfon sudah terputus. Aku semakin khawatir
dengan keadaan Jia. Pikiranku dengan nakal membayangkan sesuatu yang
tidak-tidak terjadi menimpa Jia.
Tok
tok tok..
Aku
mengetuk pintu kamar Jia. tidak ada jawaban.
Tok
tok tok..
Aku
kembali mengetuk pintu tapi jawaban dari Jia tak juga terdengar.
Ceklekk..
Aku
sedikit kaget mengetahui pintu kamar Jia tidak terkunci. Pikiranku semakin
nakal membayangkan hal yang tidak-tidak.
“
mungkin Jia disekap di rumah Pak Jarwo ”
pikiran nakalku mulai berbicara
Tanpa
basa-basi, aku segera menuju rumah Pak Jarwo
“ Akhinya
sampai juga ” kataku dengan nafas yang masih tersengal-sengal karena berlari
dari kamar Jia hingga ke rumah kecil ini.
Mulutku
menganga dan mataku sedikit melotot, terkejut akan apa yang ada di depan
mataku. Gagang pintu yang tadinya bagus kini sudah rusak seperti habis kena
maling, padahal baru 2 hari yang lalu aku mengunjungi rumah kecil ini. Karena
panik, aku mendobraknya dengan kakiku.
Bruk..
Pintu
berhasil terbuka dengan sekali tendangan
Tubuhku
tertunduk lemas melihat apa yang ada di depan mataku kini. Kondisi ruangan ini
sangat berantakan. Banyak barang- barang berserakan di lantai, foto-foto yang
telah dibingkai dengan apik terpecah-belah di lantai.
Aku
mencoba berdiri dan berjalan ke kamar Pak Jarwo
Deg..
Kedua
telapak tanganku menangkup erat mulutku. Tubuhku bergetar hebat, dan kedua
kakiku terasa kaku tak dapat bergerak sedikitpun.
Tepat
di depan mataku, kulihat sahabatku, Jia, terduduk lemas di kursi. Leher, tangan,
dan kakinya terjerat rantai besi. Matanya ditutup dengan kain hitam. Sedangkan
mulutnya dibungkam dengan kain yang telah dibuat menjadi sebuah gulungan.
Kulihat juga Pak Jarwo yang tengah asik memainkan belati di tangannya tepat di
depan wajah Jia.
Cress..
Ujung
belati Pak Jarwo mengenai pipi mulus Jia. Kudengar lirih suara Jia yang merintih kesakitan, diikut tawa menggelegar
dari mulut busuk Pak Jarwo. Air mataku mulai berlinang tak kuasa melihatnya. Hati
kecilku mendorongku untuk menolong Jia, tapi tubuhku dengan keras menolaknya.
Tubuhku dengan tegar berdiri melihat setiap penyiksaan demi penyiksaan. Hatiku
terus mengutuk tubuhku yang seakan menikmati setiap nafas penderitaan Jia.
Kreng..
Tanpa
sengaja Aku menjatuhkan sebuah vas bunga kecil yang berada di atas nakas dekat
pintu. Pak Jarwo berbalik dan memandangku tajam. Matanya mendelik, kemudian ia
menyeringai khas seorang psikopat. Aku berbalik untuk berlari tapi sebuah
pukulan lebih cepat mendarat tepat di kepalaku. Aku merasakan sakit yang teramat
tepat di kepalaku, aku terhuyung dan jatuh ke lantai. Rasanya sangat sakit
hingga aku tak sanggup untuk membuka mata. Aku merangkak menjauh tapi Pak Jarwo
dengan cepat menyeretku dan memukul kembali kepalaku bertubi-tubi hingga
akhirnya aku tak mampu merasakan sakit dan semuanya hilang.
oleh : Tri Wahyuningrum
0 komentar:
Posting Komentar